Mendesain Karir Masa Depan:
Mengapa diperlukan?
Achmanto Mendatu
© 2009
Berkarir merupakan kewajiban masa depan bagi kaum muda. Pada hakikatnya,
untuk memenuhi kewajiban masa depan itulah Lembaga-lembaga Pendidikan (baca: sekolah/Perguruan
Tinggi) di selenggarakan. Dalam pundaknya diletakkan harapan agar kaum muda itu
akan memiliki bekal kompetensi yang memadai untuk berkarir di masa depan. Di
saat yang sama, tugas perkembangan utama kaum muda adalah memilih suatu pilihan
karir untuk masa depannya. Pilihan karir itu menjadi sangat krusial pada saat
SMA karena akan menentukan jurusan studi apa yang harus diambil jika ingin
kuliah di Perguruan Tinggi, dan akan terus krusial di Perguruan Tinggi karena
sebagai persiapan masuk ke dunia karir sebenarnya.
sumber : http://psikologi-online.com/mendesain-karir-masa-depan-mengapa-diperlukan
sumber : http://psikologi-online.com/mendesain-karir-masa-depan-mengapa-diperlukan
Akan tetapi, Lembaga Pendidikan tidak dengan sendirinya bisa membuat
individu mampu membuat pilihan karir di masa depan. Diketahui terdapat variasi
tingkat kesiapan yang berbeda dalam pemilihan karir pada para pelajar: ada yang
tidak bisa memutuskan pilihan karir masa depan, ada yang masih mengeksplorasi
pilihan-pilihan karir, dan ada juga yang sudah sampai pada tahap memutuskan
suatu pilihan karir (Hirschi & Läge, 2007., Argyropoulou,
Sidiropoulou-Dimakakou & Besevegis, 2007). Sebuah penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan hanya 49% pelajar yang memiliki tujuan karir di masa depan
(Fleming, Woods & Barkin, 2006). Penelitian di Yunani malah menunjukkan
hanya 40% pelajar yang sudah memiliki tujuan karir masa depan (Argyropoulou,
Sidiropoulou-Dimakakou & Besevegis, 2007). Padahal di negara-negara
tersebut program intervensi bimbingan karir secara intensif dijalankan sedini
sekolah dasar (lihat Gysbers, 2008). Mengingat program intervensi karir sangat
jarang diberikan di Indonesia, diperkirakan angka pelajar yang telah memiliki
tujuan karir masa depan di Indonesia lebih rendah. Padahal telah diketahui
bersama bahwasanya adanya tujuan masa depan mengarahkan perilaku individu untuk
menggapai tujuan tersebut sehingga memperbesar peluang sukses di masa depan
(Seginer, 2009). Tanpa perencanaan karir yang memadai (yang dimulai dengan
memiliki tujuan karir), akan sangat banyak kerugian yang dialami kaum muda di
masa depan, di antaranya membuang-buang waktu dan biaya, tidak tahu bagaimana
mengembangkan diri, hingga kurang kompetitif dalam persaingan karir di masa
depan (lihat Laker & Laker, 2008).
FAKTOR PILIHAN KARIR
Apa yang mendasari seseorang memilih karir tertentu di masa depan? Secara
umum faktor minat, kepribadian, nilai-nilai pribadi (personal values), kelas
sosial dan keluarga merupakan faktor yang menentukan (Ehrhart & Makransky,
2007., Lara, 2007., Keller & Whiston, 2008., Tang, 2009., Duffy, Borges
& Hartung, 2009., Diemer & Ali, 2009., Smith & Campbell, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Tang (2009) pada para pelajar di Cina
menunjukkan bahwa secara keseluruhan alasan memilih sebuah karir adalah: minat
pribadi, kepastian kerja (job security), kebutuhan sosial, aktualisasi diri,
mendayagunakan kemampuan, pengharapan orangtua, pasar kerja, pengaruh media
massa, pengaruh teman, dan reaksi terhadap apa yang tersedia.
Ada pun penyebab hambatan pemilihan karir masa depan (disebut juga
kebimbangan karir) biasanya terentang dari kurangnya informasi tentang diri dan
dunia karir, minat karir yang tersebar luas, hingga kesulitan personal dalam
pembuatan keputusan pilihan karir (Argyropoulou, Sidiropoulou-Dimakakou &
Besevegis, 2007). Secara umum, kebimbangan karir yang dialami kaum muda
disebabkan oleh rendahnya efikasi diri dalam pemilihan karir (lihat Nauta &
Kahn, 2007., Borgen & Betz, 2008). Untuk mengatasi kebimbangan itu, umumnya
pelajar/mahasiswa membutuhkan hal-hal terkait informasi tentang pasar kerja,
informasi tentang pekerjaan, memahami kemampuan diri, memahami minat pribadi,
memahami cita-cita karir, dan memahami nilai-nilai pribadi (Tang, 2009).
Sedangkan untuk mereka yang memiliki hambatan psikologis sehingga tidak mampu
membuat pilihan karir yang kronis (chronic indecision) sudah tentu memiliki
kebutuhan yang berbeda (lihat Guay, Ratelle, Senécal, Larose & Deschênes,
2006).
Berbagai penelitian selalu konsisten menunjukkan bahwa para pelajar yang
telah membuat pilihan karir masa depan memiliki kualitas hidup yang lebih
baik ketimbang yang belum memutuskan. Diketahui, mereka memiliki kebermaknaan
hidup yang lebih baik dan memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi
(Walsh, 2009., Yeager & Bundick, 2009). Adanya desain karir masa depan juga
menjadi faktor protektif bagi mereka dari hal-hal negatif. Secara umum mereka
memiliki tingkat depresi yang lebih rendah (Rottinghaus, Jenkins, &
Jantzer, 2009), dan tingkat perilaku berisiko, seperti terlibat hubungan
seksual pada usia dini; hamil atau menghamili; mengonsumsi rokok, alkohol,
narkoba; terlibat tindak kriminal, dan lainnya, yang lebih rendah pula (lihat
Fleming, Woods, & Barkin, 2006).
Pilihan karir masa depan juga sangat mempengaruhi sisi akademik. Diketahui,
mereka yang memiliki tujuan karir masa depan menghabiskan lebih banyak waktu
untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, lebih memperhatikan pencapaian akademik
di sekolah, memiliki tingkat kehadiran lebih tinggi, lebih terlibat dalam
kegiatan-kegiatan di sekolah, lebih merasa memiliki sekolah, dan kurang memiliki
masalah di sekolah (Perry, 2008). Dengan kata lain, adanya desain karir masa
depan menjadikan mereka pelajar yang lebih baik.
Menilik hal-hal di atas, sebuah intervensi psikologis terkait pemilihan
karir perlu diberikan untuk kaum muda. Bukan hanya intervensi itu akan membuat
mereka lebih siap secara psikologis bertarung dalam dunia karir di masa
mendatang, tetapi juga karena intervensi karir memiliki dampak positif terhadap
kualitas akademik pelajar.
STRATEGI INTERVENSI
Terdapat berbagai metode intervensi untuk mengatasi persoalan pilihan karir
yang dialami kaum muda. Secara umum, program intervensi yang ada bisa dibedakan
menjadi program individual (konseling karir individu, memandu diri sendiri
dengan buku panduan, dan memandu diri sendiri dengan bantuan komputer/situs
internet), serta program untuk kelompok (kelas karir, konseling kelompok).
Program-program intervensi itu terbukti cukup memberikan efek positif (lihat
Brown & McPartland, 2005., Whiston & Buck, 2008). Beberapa contoh model
program intervensi kelompok adalah program kelas karir “The Five-Year Resume
Exercise” (Laker & Laker, 2008), program ‘Career Decision-Making Course’
(Fouad, Cotter, Kantamneni, 2009), program ‘Career Success Plan’ (Wessel,
Christian & Hoff, 2003), program ‘Discovery:Career and Life Planning.’
(Reese & Miller, 2006), program ‘Constructivist Career Course’ (Grier-Reed,
Skaar & Conkel-Ziebell, 2009), program ‘Career Exploration’ (Scott &
Ciani, 2008), dan sebagainya.
Diketahui, program intervensi yang terbaik efektivitasnya adalah konseling
individu dan program intervensi kelompok terstruktur (kelas karir), dan menjadi
lebih tinggi lagi efektivitasnya jika keduanya dikombinasikan. Sedangkan
program yang paling rendah efektivitasnya adalah program ‘memandu diri
sendiri’. Namun keefektifan program memandu diri sendiri bisa ditingkatkan
apabila setelah memandu diri sendiri dilayani dengan suatu konseling individu
(lihat Brown & McPartland, 2005., Whiston & Buck, 2008). Atas dasar
itulah program intervensi yang diselenggarakan sebaiknya menekankan pada
program-program untuk kelompok (kelas karir) dengan opsi adanya program
konseling individu, baik melalui konseling tatap muka maupun konseling online.
0 komentar:
Posting Komentar